PapuaOne.com – Tahun 2026 ditegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak yang ada. Demikian dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama DPD RI yang disiarkan secara virtual melalui kanal YouTube DPD RI, dikutip Rabu (2/9/2025).
Menurutnya belanja negara pada tahun 2026 akan meningkat secara signifikan, sehingga penerimaan pajak juga perlu ditingkatkan. Namun, Sri Mulyani memastikan hal itu tidak dilakukan dengan menambah beban masyarakat melalui pajak baru.
“Karena kebutuhan negara dan bangsa begitu banyak, maka pendapatan negara terus ditingkatkan tanpa ada kebijakan-kebijakan baru,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menepis anggapan bahwa setiap upaya peningkatan penerimaan negara identik dengan menaikkan pajak.
“Sering dalam hal ini dari media disampaikan seolah-olah upaya untuk meningkatkan pendapatan, kita menaikkan pajak. Padahal pajaknya tetap sama,” tegasnya.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 3.147,7 triliun, naik 9,8 persen dibanding tahun ini. Dari total tersebut, penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa peningkatan target akan dikejar melalui perbaikan kepatuhan wajib pajak, bukan lewat penambahan jenis atau tarif pajak baru.
Ia mencontohkan keringanan pajak yang sudah berlaku untuk pelaku usaha kecil.
“Seperti UMKM ini juga banyak yang muncul pertanyaan. Kebijakan kita UMKM sampai Rp 500 juta omzetnya tidak ada PPh-nya, jadi mereka nggak membayar pajak,” jelasnya.
“Kalau omzetnya di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar, pajak final 0,5 persen. Itu adalah kebijakan pemihakan kepada UMKM karena kalau pajak PPh Badan adalah angkanya di 22 persen,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga tetap memberikan perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya, PPh Pasal 21 dibebaskan untuk pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 60 juta per tahun.
Sektor-sektor krusial seperti pendidikan dan kesehatan pun mendapatkan fasilitas pembebasan atau keringanan pajak.
“Ini menggambarkan bahwa pendapatan negara tetap dijaga baik, namun pemihakan gotong royong kepada terutama kelompok yang lemah tetap akan diberikan. Ini semuanya adalah azas gotong royong, namun kita tetap menjaga tata kelola,” ujar Sri Mulyani.
Untuk memperkuat basis penerimaan negara, pemerintah juga berfokus pada perbaikan sistem administrasi perpajakan. Salah satunya melalui pengembangan Coretax, yang selama ini kerap mengalami kendala teknis.
“Jadi program-programnya adalah terus memperbaiki, menyempurnakan Coretax, sinergi pertukaran data, transaksi-transaksi yang dilakukan di digital harus sama treatment-nya dengan transaksi non digital,” beber Sri Mulyani.
Meski menegaskan tidak ada pajak baru, RAPBN 2026 tetap menargetkan tambahan utang yang cukup besar. Pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp 781,8 triliun, yang terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 749,2 triliun dan pinjaman Rp 32,7 triliun.
Tambahan utang ini dilakukan untuk menutup defisit APBN 2026 yang diproyeksikan mencapai 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Jika dilihat ke belakang, jumlah tersebut merupakan yang terbesar kedua dalam sejarah Indonesia, setelah tambahan utang pada 2021 saat pandemi Covid-19 yang mencapai Rp 870,5 triliun.
“Pada 2021, rasio utang sempat mencapai 40,7 persen sebagai dampak program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Namun kembali turun di bawah 40 persen pada akhir 2024 yang mencapai sebesar 39,8 persen,” tulis Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026.
Adapun utang jatuh tempo pada 2025 diperkirakan sebesar Rp 800,33 triliun, terdiri dari Rp 705,5 triliun berupa SBN dan Rp 94,83 triliun berupa pinjaman luar negeri.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook