PapuaOne.com – Penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen yang dilakukan oleh aparat kepolisian menjadi kabar yang memprihatinkan bagi demokrasi di negeri Indonesia tercinta ini. Hal ini pun menjadi perhatian serius dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina.

Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai penangkapan Delpedro Marhaen, dalam kasus dugaan penghasutan berpotensi menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk menyampaikan kritik.

Sebab, kata dia penangkapan Delpedro dan beberapa aktivis lain merupakan bentuk pembungkaman oleh negara melalui aparat kepolisian.

“Ini adalah satu bentuk pembungkaman, yang dimaksudkan untuk membunuh keberanian, yang dimaksudkan untuk membuat, menumbuhkan, memperluas rasa takut untuk warga melakukan kritik dan sebagainya,” ujar Almas di Polda Metro Jaya, Rabu (10/8/2025).

Selain itu, Almas juga menyinggung soal pencarian dalang atau provokator demonstrasi akhir Agustus 2025 yang berujung pada kericuhan di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. “Jelas yang melakukan provokasi yang pada akhirnya membuat warga itu marah turun ke jalan dan sebagainya, ini adalah ketidakadilan negara dalam pengelolaan anggaran,” tegas Almas.

Bukan hanya itu, Almas pun berpendapat, bahwa warga juga marah karena pejabat publik tidak kompeten dalam menyusun kebijakan.

“Jadi jangan dilihat jangka pendeknya saja bahwa ada ribuan warga turun ke jalan mengekspresikan kritik dan kemarahannya, tetapi ini adalah akumulasi dari banyak sekali persoalan,” bebernya.

“Mulai dari kebijakan yang dibuat tanpa partisipasi yang bermakna dari warga, kemudian ada kesulitan untuk mengakses lapangan kerja dan sebagainya,” sambungnya.

Seyogianya, masih kata dia, negara merespons gelombang kritik ini dengan evaluasi diri, intropeksi diri bukan berujung pada penangkapan terkait kasus penghasutan.

“Dan yang terakhir juga, yang rasanya patut dilihat sebagai faktor yang memperbesar kemarahan publik adalah bagaimana aparat kita selama ini dan terakhir kemarin di demonstrasi 25 sampai 29 Agustus, menunjukkan wajah aparat yang masih sangat represif,” ungkapnya.

Sebelumnya dikabarkan, aparat kepolisian telah menetapkan Delpedro Marhaen (DMR) sebagai tersangka kasus dugaan penghasutan yang melibatkan pelajar dalam aksi ricuh di depan Gedung DPR/MPR RI.

Melalui Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup terkait ajakan provokatif untuk melakukan aksi anarkistis.

“Tentunya sudah lebih dahulu (DMR) ditetapkan sebagai tersangka,” kata Ade Ary Syam Indradi.

Sementara, Delpedro Marhaen diduga menghasut dan menyebarkan ajakan provokatif yang berujung pada aksi anarkistis di sekitar Kompleks Parlemen dan sejumlah wilayah lain di Jakarta.

Namun, hingga saat ini polisi belum membeberkan detail isi ajakan tersebut karena masih dalam tahap pendalaman, termasuk konten yang disebarkan melalui media sosial.

Dalam kasus ini, Delpedro Marhaen terancam hukuman pidana sesuai dengan Pasal 160 KUHP, dan/atau Pasal 45A ayat (3) junto Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, dan/atau Pasal 76H junto Pasal 15 junto Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook