PapuaOne.com – Meski Pemilu 2024 telah selesai, namun bukan berarti kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berakhir. Hal ini diungkapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin secara virtual pada Kamis (17/7/2025).
Salah satu tantangan yang masih terus berlangsung adalah proses seleksi jajaran KPU daerah yang dilakukan dalam 15 gelombang, termasuk di antaranya fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). “Selama ini orang membayangkan setelah pemilu tidak ada lagi kegiatan. Padahal kenyataannya, proses seleksi jajaran KPU provinsi dan kabupaten/kota masih berjalan,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Afifuddin.
Dia mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah melakukan fit and proper test untuk jajaran KPU Papua Barat, yang masa jabatannya akan berakhir pada 4 Agustus 2025.
“Ini sangat merepotkan buat KPU. Maka dalam usulan revisi Undang-Undang Pemilu, kami mendorong agar seleksi jajaran KPU dilakukan secara serentak,” ujarnya.
Menurut Afifuddin, idealnya proses seleksi dilakukan dalam dua atau tiga gelombang besar untuk tingkat provinsi, dan cukup satu gelombang untuk tingkat kabupaten/kota.
Dengan demikian, tidak ada pergantian jajaran di tengah tahapan pemilu atau pilkada yang dapat mengganggu konsistensi kerja dan stabilitas kelembagaan.
“Kalau jajaran sudah terbentuk di awal dan tidak berubah di tengah jalan, maka tahapan bisa dijalankan dengan lebih tenang dan efektif,” tambahnya.
Afifuddin juga mengingatkan kembali soal beratnya beban kerja dalam Pemilu Serentak 2024, terutama karena tumpang tindih tahapan antara pemilu nasional dan Pilkada.
Menurut Afifuddin, sejak Januari 2024, tahapan Pilkada sudah berjalan, padahal pemilu nasional baru dilangsungkan pada 14 Februari 2024.
“Dua beban dalam satu waktu, ini yang paling terasa. Kalau ada jeda waktu yang cukup antara pemilu nasional dan Pilkada, beban bisa terurai,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melakukan berbagai rekayasa teknis untuk mengurangi beban kerja penyelenggara, misalnya dengan membatasi jumlah pemilih per TPS menjadi maksimal 300 orang.
“Dampaknya, jumlah TPS memang bertambah, tapi beban petugas jadi lebih ringan dan risiko kelelahan seperti di Pemilu 2019 bisa ditekan,” kata dia.
Afifuddin menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan waktu antara pemilu nasional dan pemilu lokal sejalan dengan hasil evaluasi internal Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Meski KPU tidak diminta menjadi pihak yang memberi keterangan dalam perkara tersebut, ia menyebut kesimpulan MK tentang beratnya beban kerja penyelenggara merupakan realita yang juga diamini banyak pihak.
“KPU selalu taat terhadap putusan MK. Kita sudah membuktikannya dalam banyak putusan sebelumnya. Tapi perlu dipahami juga, bahwa revisi Undang-Undang Pemilu menjadi agenda besar yang harus segera dibahas bersama,” kata Afifuddin.
Selain soal seleksi dan tahapan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengusulkan agar pembiayaan Pilkada dialihkan dari APBD ke APBN.
Menurut Afifuddin, mekanisme ini akan membuat satuan biaya lebih seragam, memudahkan pengawasan, dan mengurangi beban teknis bagi jajaran penyelenggara di daerah.
“Ini bagian dari refleksi besar kami dalam pengelolaan Pemilu Serentak 2024. Harapannya, pemilu ke depan bisa lebih efisien, efektif, dan tetap menjamin keselamatan serta profesionalitas penyelenggara,” tutup Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook