PapuaOne.com – Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi nampak geram dengan munculnya isu pembayaran royalti pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya di acara komersial yang sempat memicu perdebatan publik.
Polemik ini mencuat setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyebut bahwa semua lagu yang memiliki hak cipta dan diputar di ruang publik wajib membayar royalti, termasuk Indonesia Raya dalam konteks tertentu seperti orkestra, simfoni, atau pertunjukan berbayar lainnya.
Pernyataan tersebut memunculkan kekhawatiran lantaran Indonesia Raya rutin dikumandangkan menjelang laga Timnas Indonesia.
Situasi ini memunculkan pertanyaan, apakah pemutaran lagu kebangsaan di stadion yang tiket masuknya dibayar penonton juga harus dikenai royalti.
Menurut Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi, Indonesia Raya adalah perekat nasionalisme dan pembangkit patriotisme yang tidak seharusnya dibebani biaya.
“Lagu-lagu kebangsaan ini menjadi perekat dan pembangkit nasionalisme, sekaligus memicu rasa patriotisme bagi anak bangsa ketika menyanyikannya,” kata Yunus dalam keterangan kepada media, Rabu (13/8/2025).
Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi menggambarkan suasana Stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang bergemuruh ketika puluhan ribu suporter menyanyikan Indonesia Raya.
“Menggema di Stadion GBK dengan puluhan ribu suporter menyanyikan lagu ini, ada yang merinding bahkan ada yang menangis,” lanjutnya.
“Itulah nilai-nilai yang terkandung dalam lagu kebangsaan ini,” ujar Yunus.
Yunus juga menambahkan, Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu tersebut di tengah perjuangan memerdekakan Indonesia, dengan niat tulus untuk bangsa.
“Kami yakin tidak pernah terbersit di benak sang pencipta bahwa lagu ini kelak harus dibayar bila setiap individu atau elemen mana pun menyanyikannya,” tegasnya.
“Mereka menciptakan lagu ini dengan tulus, sebagai lagu perjuangan yang ditujukan untuk anak bangsa, tanpa mengharapkan imbalan,” tambah Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi.
Ia menilai polemik ini membuat kegaduhan yang tidak produktif.
“Sebaiknya aturan ini segera dihapus karena berisik, membuat gaduh, dan tidak produktif,” pungkasnya.
Di tengah kontroversi, LMKN merilis penegasan baru. Komisioner LMKN Bidang Lisensi dan Kolekting, Jhonny W. Maukar, memastikan Indonesia Raya bersifat bebas royalti.
Ia mengacu pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur bahwa penggunaan lagu kebangsaan termasuk kategori penggunaan wajar (fair use).
“Penggunaan lagu Indonesia Raya dalam bentuk aslinya tidak perlu bayar royalti karena bukan pelanggaran hak cipta. Lebih-lebih lagi, Indonesia Raya itu sudah menjadi public domain,” ujarnya melalui video.
Jhonny menjelaskan, sesuai UU Hak Cipta, karya cipta akan masuk domain publik 70 tahun setelah penciptanya meninggal dunia. W.R. Supratman sendiri wafat pada 17 Agustus 1938, sehingga hak cipta lagu ini telah berakhir pada 2008.
Topik royalti Indonesia Raya juga dibahas dalam sidang uji materi UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/8/2025). Hakim Konstitusi Arief Hidayat bahkan memberikan sindiran terhadap kemungkinan penerapan aturan secara kaku.
“Kalau aturan ini diikuti secara harfiah, W.R. Supratman pasti jadi orang terkaya di dunia. Apalagi menjelang 17 Agustus, lagu Indonesia Raya dinyanyikan di seluruh pelosok negeri, dari PAUD sampai kantor negara,” katanya.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook