PapuaOne.com – Tepat di usia 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warinussy menyatakan keprihatinannya atas kondisi dan situasi hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua secara luas yang tidak menunjukkan kondisi aman dan membaik.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah mencapai usianya yang ke-80 Tahun, 17 Agustus 2025. Namun kondisi hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua belum juga membaik,” keluh pengacara kondang di Papua Barat ini dalam keterangan tertulisnya kepada PapuaOne.com, Senin (18/8/2025).
Menurut Yan Christian Warinussy, diseluruh persada Nusantara pada hari Minggu, 17 Agustus 2025 menunjukkan situasi sukacita diliputi keharuan, tapi tidak demikian dengan situasi di wilayah Kabupaten Intan Jaya dan wilayah Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Tengah secara khusus.
“Karena korban kasih berjatuhan, baik dari pihak anggota TNI/Polri, TPNPB maupun dari rakyat sipil tidak bersalah. Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merayakan pula 20 tahun pasca ditanda tangani nya Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) Helsinki, Finlandia. MOU tersebut sebagai “pembuka jalan” bagi terciptanya situasi perdamaian di Aceh hingga saat ini. Sementara Papua justru dimekarkan hingga menjadi 6 (enam) Daerah Otonomi Baru (DOB),” beber Yan Christian Warinussy.
Justru terbersit adanya upaya seperti “devide et Impera” di jalan pemerintah penjajah Belanda dahulu atas Indonesia. Terpusatnya kekuasaan di Pemerintah Provinsi Papua dalam konteks hak pengelolaan atas sumber saya akan (SDA) di beberapa wilayah sentra produksi seperti Tembagapura, Timika serta Blok Wabu, Intan Jaya serta Gas Alam Cair di wilayah Teluk Bintuni serta lumbung pangan nasional melalui proyek Food Estate di Merauke cenderung mendorong adanya “upaya sistematis” negara untuk mengambil alih kekuasaan atas kegiatan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua.
Di sisi lain, sambung Yan terbangunnya konflik bersenjata dengan alasan klasik gangguan keamanan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di sejumlah wilayah cenderung kian dipahami dan disadari oleh rakyat Papua Asli saat ini.
“Bangkitnya perlawanan rakyat di Intan Jaya, Merauke, Dogiyai dan juga di wilayah Maybrat, Moskona maupun Teluk Bintuni adalah bukti kesadaran sosial rakyat yang cenderung sejalah dengan pandangan dan teori tokoh Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire. Kendatipun Pemerintah Indonesia telah menangkap dengan baik hasrat Orang Papua Asli untuk menyelesaikan konflik di Tanah Airnya melalui cara damai,” terang Yan Christian Warinussy.
Hal mana sejalan dengan amanat Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 dari Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Namun demikian dalam prakteknya Negara seperti “segan” bahkan “tidak pernah mau” menyentuh upaya penyelesaian konflik melalui dialog sebagaimana treatment yang ditawarkan Jaringan Damai Papua (JDP) maupun melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai ditawarkan oleh Undang Undang Otonomi Khusus.
Prinsip dasar bahwa penyelesaian konflik semestinya melalui jalan damai lewat dialog atau negosiasi atau perundingan sebagaimana dicapai melalui MOU Helsinki untuk Aceh, rupanya belum dipandang relevan bagi kasus Papua.
“Hal ini rupanya masih menjadi “ganjalan” bagi para kaum penikmat ilegal upaya eksploitasi SDA di seluruh Tanah Papua yang masih dianggap “rumah masa depan” bagi Negara Indonesia di usianya yang ke-80 Tahun ini,” tandasnya.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook